Pada prinsipnya sistem koordinasi hewan sama dengan sistem koordinasi manusia yaitu melibatkan hal-hal berikut.
1. Pelepasan zat kimia dari sel-sel ke dalam cairan ekstra sel.
2. Mentranspor zat dari bagian satu ke bagian yang lain.
3. Pengaktifan atau penonaktifan sel-sel yang dipengaruhi oleh zat. Pada subbab ini akan dibahas beberapa sistem koordinasi hewan yang memiliki sifat khusus. Hewan-hewan yang dimaksud di antaranya cacing, serangga, ular, dan katak.
1. Sistem Koordinasi Cacing
Susunan sistem saraf pada cacing berupa sistem tangga tali. Planaria, yang termasuk golongan cacing pipih memiliki sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat Planaria terdapat pada otak disebut juga ganglion anterior. Otak ini berukuran kecil. Sistem saraf tepi cacing berupa dua saluran yang menuju ke arah posterior, masing-masing saraf tersebut berada di daerah lateral tubuh cacing, keduanya dihubungkan oleh saraf penghubung. Saraf yang juga tersusun simetri bilateral ini digunakan untuk merespon cahaya. Apabila cacing pipih terkena sinar, otak akan memerintahkan cacing bergerak ke tempat gelap, misalnya di bagian bawah batu. Perhatikan Gambar 9.21.
Berbeda dengan Planaria, Annelida (misalnya lintah) mempunyai jumlah neuron yang lebih banyak di bagian otak. Saraf yang terdapat di sepanjang tubuhnya merupakan saraf ventral yang tersusun atas beberapa ganglion. Di dalam ganglion terdapat interneuron yang mengoordinasi berbagai aksi pada setiap segmen.
2. Sistem Koordinasi Serangga
Sistem saraf serangga juga terdiri dari sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi, berupa sistem saraf tangga tali. Pada belalang sistem saraf pusat tersusun atas kelompok-kelompok badan sel saraf yang disebut ganglia. Tiap-tiap ganglia dihubungkan oleh satu atau lebih tali-tali saraf. Sementara itu, saraf tepi belalang tersusun oleh akson sensorik dan akson motorik ke dan dari ganglia. Perhatikan Gambar 9.22.
Pada serangga kelenjar endokrin lebih banyak digunakan untuk proses pertumbuhan dan metamorfosis. Selama masa pertumbuhan, serangga akan menanggalkan eksoskeletonnya secara berkala. Proses pergantian kulit ini disebut molting. Molting terjadi sampai stadium dewasa. Hormon yang menyebabkan terjadinya molting adalah hormon ekdison. Hormon ini dihasilkan dari kerja sama kelenjar protorasik yang terletak di dalam dada dan hormon yang dihasilkan oleh otak.
Otak serangga juga menghasilkan hormon yang mempengaruhi proses metamorfosis, yaitu hormon juvenil. Hormon ini berfungsi menghambat proses metamorfosis. Sekresi hormon juvenil yang cukup akan membuat ekdison merangsang pertumbuhan larva. Namun, jika sekresi hormon ini berkurang maka ekdison akan merangsang perkembangan pupa. Perhatikan proses pergantian kulit pada gambar berikut. Perhatikan Gambar 9.23.
Apabila hormon ini dihilangkan dengan cara mengambil kelenjar korpora alata maka segera terjadi proses metamorfosis dan menyebabkan perkembangan hewan dewasa.
Serangga juga menghasilkan feromon, misalnya semut-semut mensekresikannya dari kelenjar di dalam kepalanya. Hormon ini cepat berdifusi ke segala arah. Feromon dapat tercium oleh semut-semut lain yang berada beberapa sentimeter dari sumbernya, misalnya pada jejak semut pekerja yang sedang kembali ke sarang dengan membawa makanan. Jejak ini menarik dan menuntun semut lain ke sumber makanan. Feromon diperbarui secara
terus-menerus sepanjang makanan tersebut masih ada. Akan tetapi, bila persediaan mulai menyusut maka semua pembuatan jejak berhenti. Jejak feromon semut menguap dengan cepat sehingga semut lain tidak dapat mencapai tempat itu.
Sistem indra penglihatan pada serangga berbeda dengan Molusca dan Vertebrata. Mata pada serangga disebut mata majemuk atau mata faset karena terdiri dari saluran berulang yaitu omatidia. Setiap saluran berfungsi sebagai reseptor penglihatan yang terpisah. Setiap omatidium menyumbangkan informasi yang hanya menamai satu daerah objek. Omatidium yang lain memberi informasi tentang daerah lainnya. Gabungan seluruh respon dari semua omatidia merupakan bayangan menarik, sehingga akan membentuk suatu pola cahaya dan bintik gelap yang menyusun seluruh pandangan.
3. Sistem Koordinasi Ular dan Katak
Kedua hewan ini mempunyai organ respon reseptor bau (atau rasa) yang sangat baik, yaitu organ Jacobson. Organ ini terletak di langit-langit mulut. Secara bergantian mereka mengeluarkan lidahnya ke udara dan kemudian ke dalam organ Jacobson. Tingkah laku seperti itu membuat mereka dapat merasakan udara dan mendeteksi adanya bau.
Sumber : http://www.sentra-edukasi.com/2011/08/sistem-koordinasi-pada-hewan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar