Nama Kian
Santang sudah melegenda di daerah Pasundan terutama dari cerita lesan
kependekaran atau dunia persilatan. Bahkan Batalyon Infanteri 301 yang
belokasi di Ngawi Jawa Timur juga bernama Batalyon Prabu Kian Santang.
Saat ini Yonif 301/Prabu Kian Santang menjadi organik Kodam
III/Siliwangi dan berkedudukan di Sumedang, Jawa Barat.
Kisah dari
Prabu Kian Santang saat ini juga tidak lepas dari kisah spiritual dan mistis
terutama pada petilasan keramat Prabu Kian Santang. Petilasan Prabu Kian
Santang lebih dikenal dengan nama, makam Godog Syeh Sunan Rahmat Suci yang mana
berdiri di sebuah bukit di wilayah Garut. Kisah bertemunya Kian Santang dengan
Sayidina Ali R.A. di Mekka juga menjadi kisah misteri karena keduanya hidup di
masa yang berbeda. Tapi kemungkinan nama Sayidina Ali di sini adalah orang lain
yang mempunyai nama sama dengan sahabat Nabi Muhammad tersebut.
Kisah Prabu
Kian Santang, sebenarnya pertama kali dikisahkan oleh Kakaknya Prabu Cakrabuana
(Walang Sungsang) ketika menyebarkan Islam di tanah Cirebon dan Pasundan. Prabu
Kian Santang lahir tahun 1315 Masehi di Pajajaran (sekarang Kota Bogor). Pada
usia 22 tahun tepatnya tahun 1337 masehi Prabu Kian Santang diangkat menjadi
dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat
pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk
Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral
penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah
oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang
dengan nama Batu Tulis Bogor.
Prabu Cakrabuana, Kian Santang dan Sunan Gunung Jati
dalam Penyebaran Agama Islam di Pasundan Pajajaran
Penyebaran
agama Islam di tanah Pasundan Pajaran tak lepas dari sepak terjang Prabu
Cakrabuana alias Walang Sungsang atau Cakrabumi atau Ki Samadullah, Kian
Santang alias Syeh Sunan Rohmat Suci dan Syarif Hidayatullah alias Sunan
Gunung Jati. Syarif Hidayatullah ini merupakan keponakan dari Walang Sungsang
dan Kian Santang serta merupakan anak dari Nyi Mas Lara Santang dengan Syarif
Adullah alias Syeh Maulana Akbar. Dan pada saat itu, Kerajaan Islam pertama di
tanah Pasundan didirikan oleh Prabu Cakrabuana alias Walang Sungsang dan diberi
nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon.
Prabu Kian
Santang merupakan penyebar agama Islam di tanah Betawi khususnya daerah
Karawang, dulu memang tidak ada pemisah antara tatar Sunda (yang diwakili oleh
Kerajaan Pajajaran) dengan tanah Betawi. Posisinya sebagai menak atau turunan
Raja menyebabkan da’wah Kian Santang cukup berpengaruh, latar belakang keilmuan
dan keshalehannya adalah warisan dari ibunya Nyi Mas Subang Larang.
Dalam
sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang
pergi ke Preanger (Priangan) dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut
agama Islam. Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui
proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik) seperti
keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok pesantren.
Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah Pasundan adalah
termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi (Tasikmalaya), Sunan Rahmat
(Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur
(Pandeglang), dan Syeikh Qura (Kerawang).
Lazimnya di sekitar area maqam-maqam
itu sering ditemukan naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan
penyebaran Islam atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik
berupa ajaran fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya
merupakan tulisan tangan.
Prabu Kian Santang dan Cerita Persilatan
Di atas
sudah disinggung kalau nama Kian Santang sangat melegenda di daerah Pasundan
terutama dari cerita lesan kependekaran atau cerita persilatan. Dalam dunia
persilatan Kian Santang dikenal juga dengan nama Gagak Lumayung yang mempunyai
kesaktian mandraguna. Konon dikisahkan bahwa dengan ajian napak sancangnya,Kian
Santang mampu mengarungi lautan dengan berkuda saja. selain itu Kian Santang
konon juga mempunyai Aji Suket Kalanjana yang merupakan ilmu
terawangan alam gaib, dan berkembang sebagai ilmu yang dapat digunakan untuk
meraga sukma dan menggerakan benda tanpa menyentuh (telekinetik).
Aji Suket
Kalanjana ini berfungsi mengaktifkan seluruh panca indera. Bereaksi terhadap
gejala alam, baik alam sadar maupun alam mimpi. Versi para guru spiritual yang
menguasainya menyebut ajian ini merupakan ilmu yang didasarkan pada gerakan
rumput tertiup angin. Ia bisa bergerak kemana saja, tapi tetap pada tempatnya
semula. Artinya, orang yang menguasai ilmu ini bisa memasuki dimensi gaib atau
berada di alam lain tapi jasadnya tetap pada tempatnya.
Aji Suket
Kalanjana ini juga dikuasai oleh Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Isi Aji
Suket Kalanjana ini adalah “Niat ingsun amatek ajiku si suket kalanjana, aji
pengawasan soko sang hyang pramana, byar padhang jumengglang paningalingsun,
sakabehing sipat podho katon saking kersaning Allah”
Petilasan Prabu Kian Santang
Pada tahun
1400 M, Prabu Kian Santang diangkat menjadi raja Pajajaran menggantikan Prabu
Munding Kawati (Prabu Anapakem I). Ketika itu, usianya delapan puluh lima
tahun. Namun tidak lama kemudian, dia melepaskan jabatannya. Tahta kerajaan dia
serahkan pada Prabu Panatayuda, putera sulung Munding Kawati.
Memang,
sejak dulu Kiansantang kurang tertarik dengan jabatan dan kekuasaan. Awalnya
memang dia mendalami berbagai ilmu kanuragan. Tentu saja ini ada hubungannya
dengan kekuasaan. Sebab, jika ingin berkuasa waktu itu, orang harus sakti. Namun
akhirnya Kian Santang lebih suka mendalami agama Islam dan menyebarkannya ke
seluruh penjuru tanah Pasundan. Apalagi kini usianya sudah lanjut.
Seperti sufi
pada umumnya, fase perjalanan hidup diakhiri dengan lebih mendekatkan diri pada
Sang Pencipta. Konsentrasi pikiran hanya tertuju padaNya. Kian Santang hindari
segala perkara yang dapat memalingkan hati pada selain Yang Di Atas. Untuk itu
Kian Santang memilih uzlah, menjauhi keramaian dan gemerlap kehidupan istana.
Dikisahkan,
seusai serah terima jabatan, Kian Santang pergi mencari tempat sepi dengan
membawa sebuah peti. Mula-mula pergi menuju Gunung Ciremai yang cukup tinggi
dan hawanya sangat dingin. Setelah sampai di sana, peti itu diletakkan di atas
tanah. Ternyata si peti diam saja, tidak godeg (bergoyang). Ini tanda bahwa
tempat itu tidak cocok untuk dihuni. Kemudian, Kian Santang meninggalkan tempat
itu dan pergi ke arah barat menuju Tasikmalaya. Sesampainya di sebuah gunung,
dia letakkan lagi peti tersebut. Ternyata si peti diam juga, tidak memberi
isyarat bagus. Maka tempat itu pun dia tinggalkan.
Akhirnya,
dia kembali pergi menuju arah utara, ke wilayah Garut. Ketika sampai di sebuah
gunung, diletakkanlah peti petunjuk itu di atas tanah. Tiba-tiba si peti godeg
alias bergoyang-goyang. Ini pertanda tempat itu baik untuk dihuni. Maka
disitulah Kian Santang tinggal hingga wafatnya setelah bertafakur selama
sembilan belas tahun.
Kian Santang
wafat tahun
1419, dalam usia 106 tahun dan dimakamkan di Garut situ. Kini tempat itu
terkenal sebagai Makam Keramat Godog atau Makam Sunan Rohmat Suci. Sekitar satu
kilo meter dari tempat ini berdirilah Masjid Pusaka Keramat Godog yang konon
dibangun Kian Santang semasa uzlah. Dua tempat itu menjadi bukti adanya wali
yang berasal dari keluarga raja Pajajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar