Asal Usul Dasi
Dasi, konon menurut Asosiasi Aksesori Leher Amerika, punya sejarah panjang yang melilit perkembangannya. Sejak zaman batu pun aksesori di leher dan dada sudah ada, khususnya untuk memberi ciri pada kelompok pria dari strata tinggi.
Malah pada masa Romawi kuno sudah dipakai kain untuk melindungi leher dan tenggorokan, khususnya oleh para jurubicara. Pada perkembangannya prajurit militer Romawi pun memakainya. Bukti dipakainya aksesori kain leher tampak pada patung batu di makam kuno, Xian, Cina.
Aksesori leher terkenal lainnya muncul di masa Shakespeare (1564 - 1616), yakni ruff. Kerah kaku dari kain putih itu bentuknya serupa piringan besar yang melingkari leher. Untuk mempertahankan bentuk, ruff sering dikanji. Lambat laun orang merasa ruff yang bertumpuk-tumpuk hingga mencapai ketebalan beberapa sentimeter mengakibatkan iritasi.
Lahirlah cravat pada masa pemerintahan Louis XIV tahun 1660-an. Namun, Kroasia lebih tepat disebut sebagai tanah asal dasi.
Ini sesuai penuturan Francoise Chaile dalam buku La Grande Historie de la Cravate (Flamarion, Paris, 1994).
"... Sekitar tahun 1635, sekitar enam ribu prajurit dan ksatria datang ke Paris, yang disewa oleh Louis XIII dan Richelieu. Pakaian tradisional mereka amat menarik. Sehelai sapu tangan diikatkan di leher dengan cara khusus. Sapu tangan itu terbuat dari berbagai kain, dari yang serupa seragam, katun halus, hingga sutera. Gaya unik ini segera 'menaklukkan Prancis'. Apalagi cara ini lebih praktis ketimbang kerah kaku. Sapu tangan itu cuma diikat, dengan ujung-ujungnya dibiarkan lepas." Maka disebutlah sapu tangan itu cravat yang artinya "penduduk dari Kroasia".
Sebagaimana aksesori leher di zaman batu, keindahan cravat dan cara mengikatnya menunjukkan kelas si pemakai. Konon Beau Brummell (1778-1840), yang banyak mempengaruhi perkembangan mode, perlu waktu berjam-jam untuk mengikat cravat-nya.
Banyak buku teknik mengikat cravat diterbitkan. Salah satunya menampilkan 32 cara, meski kenyataannya ada lebih dari 100 cara yang resmi dikenal saat itu. Begitupun, ada saja orang yang ingin mengekspresikan kepribadian mereka dengan kreasi sendiri.
Selanjutnya muncul adab atau cara untuk mengenakan cravat. Seseorang pantang menyentuh cravat orang lain. Kalau sampai terjadi, tindakan itu bisa berakibat fatal, yakni duel.
Bahkan takhayul pun berkembang di seputaran cravat. Konon saat Napoleon mengenakan cravat hitam yang dililitkan dua kali memutari leher, ia selalu menang perang. Celakanya, saat terjun di Waterloo ia memakai cravat putih. Akibatnya? Ia pun "jatuh".
Tahun 1860-an cravat dengan ujung yang panjang mulai menyerupai aksesori leher modern alias dasi.
Ketika muncul mode kemeja berkerah, dasi disimpulkan di bawah dagu, ujung panjangnya terjuntai di depan kemeja. Sementara dasi berbentuk kupu-kupu baru populer tahun 1890-an.
Dengan kemajuan teknologi, kini dasi jadi makin beragam warna, desain, dan teksturnya. Alhasil, lebih dari 100 juta dasi menyerbu berbagai gerai dasi setiap tahun.
Malah pada masa Romawi kuno sudah dipakai kain untuk melindungi leher dan tenggorokan, khususnya oleh para jurubicara. Pada perkembangannya prajurit militer Romawi pun memakainya. Bukti dipakainya aksesori kain leher tampak pada patung batu di makam kuno, Xian, Cina.
Aksesori leher terkenal lainnya muncul di masa Shakespeare (1564 - 1616), yakni ruff. Kerah kaku dari kain putih itu bentuknya serupa piringan besar yang melingkari leher. Untuk mempertahankan bentuk, ruff sering dikanji. Lambat laun orang merasa ruff yang bertumpuk-tumpuk hingga mencapai ketebalan beberapa sentimeter mengakibatkan iritasi.
Lahirlah cravat pada masa pemerintahan Louis XIV tahun 1660-an. Namun, Kroasia lebih tepat disebut sebagai tanah asal dasi.
Ini sesuai penuturan Francoise Chaile dalam buku La Grande Historie de la Cravate (Flamarion, Paris, 1994).
"... Sekitar tahun 1635, sekitar enam ribu prajurit dan ksatria datang ke Paris, yang disewa oleh Louis XIII dan Richelieu. Pakaian tradisional mereka amat menarik. Sehelai sapu tangan diikatkan di leher dengan cara khusus. Sapu tangan itu terbuat dari berbagai kain, dari yang serupa seragam, katun halus, hingga sutera. Gaya unik ini segera 'menaklukkan Prancis'. Apalagi cara ini lebih praktis ketimbang kerah kaku. Sapu tangan itu cuma diikat, dengan ujung-ujungnya dibiarkan lepas." Maka disebutlah sapu tangan itu cravat yang artinya "penduduk dari Kroasia".
Sebagaimana aksesori leher di zaman batu, keindahan cravat dan cara mengikatnya menunjukkan kelas si pemakai. Konon Beau Brummell (1778-1840), yang banyak mempengaruhi perkembangan mode, perlu waktu berjam-jam untuk mengikat cravat-nya.
Banyak buku teknik mengikat cravat diterbitkan. Salah satunya menampilkan 32 cara, meski kenyataannya ada lebih dari 100 cara yang resmi dikenal saat itu. Begitupun, ada saja orang yang ingin mengekspresikan kepribadian mereka dengan kreasi sendiri.
Selanjutnya muncul adab atau cara untuk mengenakan cravat. Seseorang pantang menyentuh cravat orang lain. Kalau sampai terjadi, tindakan itu bisa berakibat fatal, yakni duel.
Bahkan takhayul pun berkembang di seputaran cravat. Konon saat Napoleon mengenakan cravat hitam yang dililitkan dua kali memutari leher, ia selalu menang perang. Celakanya, saat terjun di Waterloo ia memakai cravat putih. Akibatnya? Ia pun "jatuh".
Tahun 1860-an cravat dengan ujung yang panjang mulai menyerupai aksesori leher modern alias dasi.
Ketika muncul mode kemeja berkerah, dasi disimpulkan di bawah dagu, ujung panjangnya terjuntai di depan kemeja. Sementara dasi berbentuk kupu-kupu baru populer tahun 1890-an.
Dengan kemajuan teknologi, kini dasi jadi makin beragam warna, desain, dan teksturnya. Alhasil, lebih dari 100 juta dasi menyerbu berbagai gerai dasi setiap tahun.
sumber : http://bagindanews.blogspot.com/2012_07_15_archive.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar